Kala Nyawa TKI Satinah di Ujung Tanduk
Nyawa Satinah kini di ujung tanduk. Pada
tanggal 3 April 2014 ini, eksekusi terhadap Tenaga Kerja Wanita asal Ungaran,
Jawa Tengah, akan dilakukan apabila keluarga korban tidak bersedia menerima
uang tebusan senilai 4 juta real atau Rp12,1 miliar yang telah ditawarkan
oleh Pemerintah RI. Nilai ini jauh lebih sedikit dibandingkan permintaan
keluarga korban. Korban meminta 7 juta real atau sekitar Rp21,2 miliar.
Wakil
Menteri Luar Negeri Wardana memberikan keterangan pers soal perkembangan kasus
Satinah ini di Kementerian Luar Negeri, Senin, 24 Maret 2014.
Waktu eksekusi Satinah
kian mepet, pemerintah terus memutar otak karena hukum di Arab Saudi,
pengampunan hanya datang dari keluarga korban. Jika tidak ada ampun, hukum
pancung pun makin dekat.
"Saat ini kuncinya di tangan keluarga korban.
Kami kini berfokus bagaimana melakukan pendekatan ke keluarga korban,"
kata Wardana.
Pengacara juga berjuang keras agar nyawa Satinah bisa
diselamatkan. Perwakilan pemerintah Indonesia juga beberapa kali bertemu
dengan Duta Besar Saudi untuk RI, Mustafa Bin Ibrahim al-Mubarak, agar turut
mendekati ahli waris korban.
"Kami meminta tolong agar ahli waris korban
menerima uang diyat yang telah tersedia di Pengadilan Buraidah," kata
Wardana.
Pendekatan juga dilakukan dengan mengirimkan surat yang ditulis
tangan putri Satinah, Nur Afriana, kepada ahli waris korban.
Selain mendekati
keluarga korban, pemerintah juga mengupayakan agar tenggat waktu eksekusi bisa
terus diundur. Bahkan Presiden SBY pun ikut turun tangan dengan mengirim surat
permohonan kepada Raja Saudi, agar mengintervensi keluarga korban supaya
bersedia menerima uang diyat tersebut.
Denda tak wajar
Menteri Koordinator Hukum
dan HAM Djoko Suyanto mengatakan, pemerintah terus melakukan perundingan dengan
Pemerintah Arab Saudi untuk membebaskan Satinah. "Sebenarnya Raja Saudi
telah memberi maaf, tapi di Saudi Arabia yang berlaku adalah maaf dari keluarga
korban. Ini yang menjadi kendala utama," kata Djoko.
Menurut Djoko,
kendala utama kasus ini cukup besar. Uang diyat yang diminta keluarga korban
sangat tinggi, 7 juta real. Pemerintah telah melakukan negosiasi apakah layak
uang diyat sebesar itu.
"Uang diyat tak pernah sebesar itu, hanya sekedar
ratusan ribu real," katanya.
Secara tradisional, permintaan diyat sekitar
harga 100-150 ekor unta atau sekitar Rp1,5 - 2 miliar. "Itu angka
adat," katanya. Jadi kalau sampai Rp22 miliar itu sangat tinggi.
Karena
itu, dalam rapat di Menkopolhukam, disimpulkan bahwa diyat sebesar itu sangat
berlebihan.
Berharap ada keajaiban
Dari Ungaran, Semarang,
putri Satinah, Nur Afriana, berharap ibunya tidak jadi dieksekusi dan dapat
segera kembali ke tanah air. Putri satu-satunya Satinah yang berusia 20 tahun
itu rindu berkumpul dengan sang ibu yang telah berpisah darinya sejak 2006
hingga saat ini.
Selama Satinah ditahan di penjara Buraidah, Provinsi Qaseem,
Arab Saudi, Nur telah bertemu ibundanya itu sebanyak tiga kali. Satinah
dijatuhi hukuman mati karena membuat majikannya tewas dan kabur dengan tas sang
majikan yang uang berisi uang 37.970 real atau sekitar Rp122 juta.
Di penjara,
kata Nur, Satinah menyesali perbuatannya dan berusaha bertobat dengan rajin
membaca Alquran. Nasib Satinah kini tersisa kurang dari sebulan, seperti tengat
uang diyat keluarga, April.
Satinah semula akan dieksekusi antara 5-8
Februari. Namun atas upaya Lembaga Pemaafan dan Gubernur Provinsi Qaseem yang
melobi ahli waris korban, akhirnya diperpanjang.
Menurut data dari Kemenlu,
tengat waktu eksekusi Satinah telah ditunda lima kali, yakni pada Juli 2011, 23
Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014.
Tak Sendiri
Di Singapura, Dewi
Sukowati, seorang tenaga kerja Indonesia asal Pati, Jawa Tengah, juga terancam
pidana mati. Dia diduga membunuh majikannya, Nancy Gan Wan Geok.
Dalam sidang
dakwaan di pengadilan Singapura, Kamis 20 Maret, Dewi didakwa membunuh Nancy
(69) yang juga seorang sosialita Singapura pada Rabu pagi 19 Maret antara pukul
7.30 hingga 8.48 waktu setempat. Nancy ditemukan tak bernyawa di kolam renang
di sebuah bungalow di Victoria Park Road.
Dikutip dari laman Channelnewsasia,
Dewi tampak tenang saat duduk di pengadilan menunggu dakwaannya. Dia juga
tampak berbincang dengan seorang wanita yang duduk di sebelahnya. Jika terbukti
membunuh Nancy, Dewi terancam pidana mati.
Pengacara Mohamed Muzammil
mengatakan kepada majelis hakim pengadilan Singapura bahwa dia ditunjuk
Kedutaan Besar Indonesia, Rabu lalu, untuk mewakili Dewi.
Kepada wartawan,
Muzammil mengungkapkan, Dewi yang baru sepekan di Singapura itu berasal dari
sebuah desa di Pati, Jawa Tengah. Dia menambahkan, KBRI sedang mengumpulkan
informasi mengenai Dewi. "Termasuk menghubungi agen TKI di sana
(Pati)," kata dia.
Sementara waktu, Dewi diserahkan ke Penjara Khusus
Wanita Changi untuk tes kejiwaan. Kasus ini akan disidang kembali pada 10 April
mendatang.