RSS

Jumat, 29 Juni 2012

Pengalaman Tentang Keadilan


PENGALAMAN TENTANG KEADILAN
Pertama: Saya berhadapan dan berbincang dengan orang-orang yang tersisih. Merasakan kesulitan dan beban mereka, saya diingatkan untuk dapat berbuat lebih pada sekeliling. Terutama yang berkekurangan dan tidak beruntung. lebih dari itu, saya terpanggil untuk membantu melalui profesi ini. Sebut saja ibu Lely, yang 12 tahun tak berhasil mengurus pensiun suaminya sejak ia wafat tahun 1998. Perempuan sepuh itu harus menghidupi tiga putranya seorang diri, tanpa pemasukan lain. Usahanya mengurus pensiun itu selalu gagal dengan berbagai alasan. Surat yang dikirimkan ke atasan suaminya, menteri di departemennya, bahkan presiden tak berjawab. Untunglah setelah tayangan tersebut, sebuah jawaban dari PT Taspen datang. Semoga pekerjaan Suara Keadilan bermanfaat.

Kedua: Banyak kasus terjadi di luar Jakarta. Akibatnya saya berkeliling terus. Setidaknya seminggu 2 atau 3 hari keluar kota. Perjalanan itu membawa pengalaman luar biasa. Salah satunya adalah mengetahui betapa luasnya, beragamnya dan jauhnya perbedaan kota yang saya kunjungi dengan Indonesia.

Pengalaman menarik pertama di kota Sukabumi. Kota yang hanya berjarak sekitar 100 kilo meter dari Jakarta itu menunjukkan betapa tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Jalanan sempit, macet, berlubang. Apalagi yang menuju tempat liputan. Hanya bertatahkan batu2an besar, berlumpur, minim penerangan, menanjak dan berliku.

Pengalaman menarik kedua adalah kota Purwokerto. Saya menemukan kedamaian di kota ini. Walaupun perjalanan ke kota itu melalui jalur selatan melelahkan dan menjemukan, praktis semua itu hilang saat merasakan hawa sejuk dan ketenangan kota. Ramai tapi tidak terlalu macet, dan banyak makanan yang enak.

Kota ketiga adalah Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Saya membayangkan yang namanya ibu kota provinsi pasti tumbuh besar penuh fasilitas dan keramaian, karena tingkat perekonomian baik. Tapi saya lupa. Ini bukan di Jawa. Kendari sudah lebih jauh dari Jakarta. Akibatnya akses menuju kemodernan kian sulit. Kota ini indah. Di kota tua ada sebuah dataran tinggi yang langsung berhadapan dengan pelabuhan. Tapi ada daya, keindahan itu tak tersingkap sepenuhnya. Bahkan ada permukiman di tengah kota, yang aksesnya harus melalui jalan setapak, licin, dan mendaki. Sulit ditempuh. Motor pun tidak mudah memasukinya. Padahal di tempat itu sedikitnya ada beberapa belas rumah.

Sekali lagi, saya pikir inilah sebuah bentuk ketidakadilan. Saya yang tinggal di ibu kota negara dengan mudah melakukan banyak hal. Begitu mudah pergi ke banyak tempat. Namun kemudahan itu tak didapat saudara-saudara saya di luar Jakarta.


0 komentar:

Posting Komentar